Romli Atmasasmita
DI era pemerintahan Prabowo Subianto telah lama terdapat pembentukan sebuah super holding korporasi BUMN pada bidang lapangan usaha jasa juga keuangan, yang mana dinamakan Danantara , yang digunakan menurut presiden akan mengurus nilai sebesar 900 miliar dolar Amerika Serikat juga diharapkan dengan kelolaan modal senilai yang disebutkan dapat menumbuhkan sistem perekonomian nasional juga sekaligus turut menciptakan good-governance (GG). Sudah dapat dipastikan bahwa, pengelolaan nilai uang sebanyak itu memerlukan sistem GG yang dimaksud ketat disertai sistem pengawasan yang digunakan intensif juga jikalau perlu penegakan hukum yang mana keras serta tegas sebagaimana pernyataan presiden pada awal pidatonya sebagai presiden RI.
Namun, alih-alih niat untuk menguatkan sistem GG yang dimaksud tampak adalah pemerintah melalui Menteri BUMN, seiring dengan pembentukan Danantara, sudah pernah melakukan inovasi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang mana sekaligus mengenyampingkan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang digunakan merupakan payung hukum ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Ketentuan yang digunakan dikesampingkan terdapat pada ketentuan Pasal 4B yang menyatakan bahwa keuntungan kemudian kerugian BUMN adalah keuntungan juga kerugian BUMN tidak keuntungan dan juga kerugian keuangan negara, sebagaimana dimaksud di Pasal 1 bilangan bulat 1 bahwa kekayaan yang dimaksud dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan area adalah keuangan negara. Begitu pula ketentuan sepanjang mengenai tanggung jawab direksi, komisaris, serta pegawai BUMN pada di UU Nomor 1 Tahun 2025 Perubahan Kedua UU BUMN Tahun 2019; telah terjadi atur sedemikian rupa sehingga layaknya ketentuan imunitas tanggung jawab direksi, komisaris, kemudian pegawai BUMN dari jangkauan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana telah terjadi ditegaskan pada UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi-khususnya Pasal 2 lalu Pasal 3.
Penerapan ketentuan yang dimaksud merupakan imunitas tanggung jawab direksi, komisaris, serta pegawai BUMN yang dimaksud dijalankan dengan tujuan agar Danantara yang tersebut merupakan BUMN Superholding dapat tetap saja melaksanakan tugas lalu tanggung jawabnya dengan aman kemudian nyaman lalu terbebas dari perasaan khawatir dipersoalkan dari tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dinyatakan di UU Nomor 17 tahun 2003 kemudian UU Nomor 30 tahun 1999 yang dimaksud diubah UU Nomor 20 tahun 2001. Tujuan baik semula dengan memasukkan ketentuan imunitas dimaksud masih terbuka celah hukum direksi, komisaris, juga pegawai BUMN dari tanggung jawab hukum akan tetapi telah terjadi dilimitasi sebatas pelanggaran melawan ketentuan sebagaimana telah dilakukan diatur di Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas, yaitu Anggota Direksi tiada dapat dipertanggungjawabkan menghadapi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a.kerugian yang disebutkan tidak oleh sebab itu kesalahan atau kelalaiannya; b. telah lama melakukan pengurusan dengan itikad baik kemudian kehati-hatian untuk kepentingan kemudian sesuai dengan maksud serta tujuan Perseroan; c. tidaklah mempunyai benturan kepentingan baik dengan segera maupun tak secara langsung melawan tindakan pengurusan yang dimaksud mengakibatkan kerugian; juga telah terjadi mengambil tindakan untuk menghindari timbul atau berlanjutnya.
Namun demikian tanggung jawab sebagaimana diatur di Pasal 97 ayat (5) adalah termasuk tanggung jawab keperdataan semata bukan dapat dialihkan menjadi tanggung jawab pidana khususnya aksi pidana korupsi sebagaimana lazimnya di praktik peradilan langkah pidana korupsi khususnya di penyidikan serta penuntutan aktivitas pidana korupsi. Sesungguhnya kesulitan peralihan tanggung jawab keperdataan pada BUMN (korporasi) yang dimaksud terjadi selama ini pada praktik peradilan pidana khususnya tindakan pidana korupsi sudah pernah menyimpang dari batas yang mana ditegaskan pada ketentuan Pasal 14 UU Tipikor yang menyatakan bahwa, ketentuan UU Tipikor bukan dapat diberlakukan sepanjang pelanggaran pidana pada pada UU lain selain UU Tipikor tiada dinyatakan secara tegas bahwa pelanggaran pidana yang disebutkan adalah aktivitas pidana korupsi; begitupula telah terjadi ditegaskan pula pada di Pasal 6 huruf c UU Nomor 46 Tahun 2009 Pengadilan Tipikor yang tersebut intinya identik dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor.
Penyimpangan penerapan UU Tipikor yang terjadi ketika ini terhadap UU lain selain UU Tipikor serta yang dimaksud tak dinyatakan sebagai tipikor seperti pelanggaran pidana pada pada UU BUMN, UU Pasar Modal, UU Pertambangan juga UU Lingkungan Hidup bahkan UU Perbankan, adalah langkah hukum yang dimaksud keliru bahkan dapat dikatakan miscarriage of justice sehingga berdampak terhadap kenyamanan dan juga keamanan para pelaku usaha khususnya pelopor negara yang digunakan berkaitan dengan perdagangan impor-ekspor di sumber daya alam. Kekeliruan penerapan UU Tipikor terhadap langkah pidana selain langkah pidana korupsi disebabkan lantaran kekeliruan APH menafsirkan ketentuan Pasal 2 lalu Pasal 3 UU Tipikor yaitu belaka fokus pada temuan kerugian keuangan negara diutamakan akan tetapi mengabaikan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor lalu Pasal 6 huruf c UU Pengadilan Tipikor, serta perbuatan pelanggaran yang dapat dipidana sebagai tipikor; tidak pada ada tidak ada adanya akibat kerugian keuangan negara.
Padahal, pembentuk UU Tipikor sudah menyiapkan escape clause yaitu Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor. Di situ dinyatakan apabila penyidik (pidsus) tidak ada menemukan bukti permulaan yang tersebut cukup adanya perbuatan pidana korupsi sedangkan telah dilakukan ditemukan kerugian keuangan negara, maka penyidik (pidsus) harus melimpahkan berkas perkara serta terdakwa untuk jaksa pengacara negara untuk diadakan gugatan perdata. Berdasarkan uraian diatas, tampaknya kebijakan hukum pemerintah di mengatasi kesulitan kelanggengan Danantara yang dimaksud merupakan proyek nasional strategis unggulan lalu bersifat strategis menghadapi dilema (dilematis) antara pemberantasan korupsi secara tuntas lalu tegas serta menjaga kesinambungan kinerja Danantara tanpa ada perasaan khawatir kemudian pelaksanaan tugas yang mana rentan terhadap penerapan UU Tipikor.
Dalam konteks ini sesungguhnya Danantara sebagai BUMN perlu menguatkan sistem audit internal yang mana ketat, kuat, juga bersikap tegas menghadapi permasalahan perbuatan direksi, komisaris, atau pegawai Danantara yang digunakan jelas juga nyata melanggar hukum. Dari aspek hukum pidana materiel serta formil, inovasi UU BUMN 2025 sebagaimana diuraikan di area berhadapan dengan bukan akan sejumlah berdampak besar terhadap kinerja pemberantasan korupsi sebab praktik peradilan tipikor dalam lapangan penuh dinamika juga pro kontra pendapat ahli hukum lalu kebijakan penegakan hukum oleh APH sendiri.