Jakarta – Kementerian Tenaga dan juga Narasumber Daya Mineral (ESDM) berada dalam bersiap menjalankan inisiatif pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) bioetanol ke di Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan juga Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi memproyeksikan kegiatan ini akan mulai dijalankan antara tahun 2025 atau 2026. Adapun, regulasi mandatori bioetanol nantinya akan tertuang di dalam di Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM.
Meski belum diputuskan, pemerintah mengkaji kemungkinan mandatori pencampuran bioetanol dengan BBM bensin sebesar 5% atau Etanol 5% (E5) atau bahkan mampu 10%. Kajian ini termasuk apakah mandatori akan dilaksanakan bertahap atau dengan segera dengan besaran persentase tersebut.
“Dari di tempat ini kita akan keluarkan Keputusan Menteri untuk memandatorikan seperti biodiesel 40% di dalam awal 2025 ini lalu ini apakah dengan Keputusan Menteri mengeluarkan 5% apakah 2025 atau 2026 ini masih diskusi penetapan pentahapannya,” tuturnya pada acara Coffee Morning CNBC Indonesia, diambil Mulai Pekan (19/5/2025).
“Akan enteng kita kembalikan pada peraturan pentahapan yang tersebut clear, apakah dengan segera 10% atau 5% mandatori, tapi harus hitung kesiapan feedstock,” ujarnya.
Menurut Eniya, pemerintah sendiri pada waktu ini masih berdiskusi mengenai target implementasi dari kegiatan campuran bioetanol untuk BBM tersebut, apakah dimulai pada 2025 atau 2026. Selain itu, terkait dengan kesiapan pasokan material baku (feedstock) juga masih berubah menjadi perhatian.
“Nah ini kan kita sedang diskusi. Jadi ketetapan pentahapannya ini. Ini adalah yang dimaksud saya juga ingin mendengarkan opini dari teman-teman khususnya hambatan feedstock,” kata dia.
Meski demikian, ia mengakui bahwa pengembangan bioetanol selama ini mengalami hambatan lantaran dikenakan cukai. Sekalipun penggunaannya untuk campuran unsur bakar.
Eniya mengkaji di dalam pada aturan yang mana dibuat pemerintah, penyelenggaraan bioetanol sebagai campuran substansi bakar sejatinya ditargetkan mencapai 20 persen (E20) pada 2025. Namun demikian, implementasinya selama ini masih terhambat hambatan cukai.
“Nah tetapi belum ada yang dimaksud ngejar. Nah oleh sebab itu memang sebenarnya permasalahan harga jual juga permasalahan isu cukai yang digunakan masih berubah menjadi problem lalu ini baru kita lihat bagaimana skenario nya ke sektor regulasi ya,” kata Eniya.
Lebih lanjut, Eniya mengungkapkan bahwa meskipun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sudah menetapkan bahwa cukai semata-mata dikenakan pada minuman beralkohol, namun persoalan muncul pada klasifikasi baku lapangan bidang usaha Negara Indonesia (KBLI) yang mana masih berbelit-belit.
“Ini kalau dari PMK sendiri, peraturan Kementerian keuangan itu telah mengeluarkan, hanya sekali menetapkan cukai itu pada minuman saja. Jadi kalau untuk komponen bakar tidak. Tetapi ada sedikit KBLI yang mana berbelit. Jadi nanti harus ke clear kan di nomor KBLI nya,” katanya.
Sementara itu, Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) berada dalam melirik kesempatan industri baru dalam bentuk pemanfaatan aren sebagai unsur baku pembuatan bioetanol. Adapun, bioetanol sendiri digunakan sebagai campuran substansi bakar minyak (BBM) jenis bensin.
CEO Pertamina New and Renewable Energy (PNRE), John Anis menyatakan bahwa pada waktu ini pihaknya berada dalam membidik prospek pemanfaatan aren sebagai substansi baku pembuatan bioetanol. sebabnya prospek aren untuk bioetanol ke Tanah Air cukup besar.
Menurut dia, berdasarkan data dari Kementerian Perhutanan terdapat prospek lahan seluas dua jt hektare ke berubah-ubah wilayah Negara Indonesia juga cocok untuk pengembangan flora aren.
“Yang menantang adalah, dari data statistik yang digunakan diberikan oleh mereka, itu per hektar, per tahunnya, bioetanol yang digunakan bisa saja dihasilkan oleh aren ini, sekitar 4 sampai 5 kali lebih lanjut besar dari yang tersebut lainnya baik dari gula, dari jagung,” kata John di dalam di kesempatan yang tersebut sama.
Ia lantas memerinci bahwa berdasarkan perhitungan dari Kementerian Perhutanan, 1 jt hektar lahan aren mampu memproduksi 24 jt kiloliter bioetanol per tahun. Angka yang disebutkan cukup signifikan untuk menggantikan setengah dari keinginan BBM nasional.
“Jadi kalau punya 1 jt hektar, 24 jt kl. Padahal kebetulan kita sekitar 40 jt kl. Jadi setengahnya udah, ya setengahnya, kalau itu masif, udah gak import lagi tuh. Jadi udah tertutup lah,” kata dia.
Oleh sebab itu, untuk mengembangkan aren sebagai materi baku bioetanol, PNRE akan mengembangkan proyek percontohan ke wilayah Jawa Barat. Misalnya yakni dalam Tasikmalaya atau Garut.
Next Article Kurangi Impor Bensin, RI Budidaya Tanaman Hal ini ke Jawa-Merauke
Artikel ini disadur dari Pemerintah Siapkan Mandatori BBM Bensin Bioetanol, Ini Bocorannya