Perang Dagang AS-China, Siapa yang mana Bakal Meraih kemenangan serta Berakhir Tumbang?

Perang Dagang AS-China, Siapa yang mana Bakal Meraih kemenangan dan juga Berakhir Tumbang?

JAKARTA – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan juga China kembali memanas. Dalam sepekan terakhir, kedua negara saling menekan dengan tarif impor yang digunakan semakin tinggi, mengubah konflik ini menjadi ujian ketahanan ekonomi jangka panjang yang digunakan belum pernah terjadi sebelumnya.

Tarif impor Amerika Serikat terhadap item China saat ini mencapai 125%, sementara Beijing membalas dengan tarif hingga 84% terhadap barang-barang jika Amerika. Perang tarif ini tidak ada cuma berdampak pada perdagangan kedua negara, namun juga menguji daya tahan sistem dunia usaha global.

Menurut Dekan School of Public Policy di tempat Chinese University of Hong Kong di tempat Shenzhen, Zheng Yongnian, konflik ini tidak lagi sekedar persoalan neraca perdagangan, melainkan adu kekuatan pada merancang sistem sektor yang mana tangguh lalu berkelanjutan.

“Apa yang dimaksud diperebutkan adalah ketahanan ekonomi. Hanya dengan sistem yang dimaksud kuat, China sanggup mengamankan kedudukan dominan di persaingan jangka panjang melawan AS,” ujar Zheng, diambil dari akun resmi media sosial People’s Daily dari SCMP, hari terakhir pekan (11/4/2025).

Di berada dalam ketegangan ini, Presiden Negeri Paman Sam Donald Trump memberikan jeda 90 hari untuk sebagian besar tarif pada negara lain, namun tetap memperlihatkan fokus memperketat kebijakan terhadap China. Langkah ini disebut oleh Lynn Song, kepala ekonom ING untuk Greater China, sebagai bagian dari ujian daya tahan yang dimaksud sengaja dilancarkan Washington.

“Para pembuat kebijakan seakan-akan sedang menguji siapa yang lebih besar dulu merasa kesakitan, untuk mengamati siapa yang akhirnya memiliki keunggulan pada waktu negosiasi dilanjutkan,” tulis Lynn di catatannya.

Namun, risiko pemisahan total antara dua raksasa ekonomi dunia makin nyata. Perdagangan antara Negeri Paman Sam dan juga China yang mana mencapai USD688,3 miliar tahun lalu saat ini terancam stagnasi.

Zheng memperingatkan, “Jika tarif sudah ada tembus 60 hingga 70 persen, efeknya sanggup mirip seperti 500 persen, perusahaan tak akan sanggup berjalan serta pemisahan ekonomi jadi tak terelakkan.”

Profesor Sektor Bisnis dari Universitas Peking, Yao Yang, juga menyuarakan perasaan khawatir serupa. Ia menyebut, berbagai sektor ekspor China saat ini harus mengalihkan produk-produk ke bursa domestik, yang dimaksud dapat memperparah persaingan internal juga tekanan deflasi.